Assalamualaikum Wr. Wb.
Biografi dan pemikiran filsuf Ayatullah Al-Khomeini
Pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang biografi dan pemikiran seorang filsafat islam yaitu Ayatullah Al-Khomeini atau Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini. Beliau lahir pada tanggal 24 September 1902 di Khomein, Iran Tengah. Ia merupakan memiliki keluarga terkemuka yang di segani dan memiliki banyak karya yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Ayahnya Sayyid Musthafa merupakan  seorang Ayatullah dan pemuka masyarakat, dan ibunya Hajar merupakan putri dari seorang Ayatullah yang juga terkemuka, yakni Mirza Ahmad.
Banyak karya yang ia tuliskan yang berhubungan dengan pemikiran politik ayatullah Khomeini. Saat berusia 27 tahun, Khomaini mulai meniti karirnya menjadi seorang guru Filsafat dan Tasawuf. Selain menguasai kedua bidang tersebut, Khomaini juga menguasai beberapa ilmu seperti : hukum Islam, ilmu kalam, dan politik. Ini ia buktikan dengan menulisdan menerbitkan  beberapa karya tulisnya yang telah berjumlah 42 judul buku. Dari 42 judul buku tersebut, 16 diantaranya berbecara mengenai filsafat dan tasawuf, 6 buku mengenai ilmu kalam dan politik, dan 20 buku membahas fiqh dan ushul fiqh. Menurut buku (Jalaluddin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam)
Khomeini menikah pada usia 30 tahun dengan seorang putri agamawan terkemuka dan memiliki dua orang anak yang juga merupakan seorang berpengaruh dalm agama dan negara. (Musthafa Khomaini, seorang Hujjatul Islam, sekaligus tangan kanan ayahnya, dan Ahmad Khomaini, seorang Hujjatul Islam juga yang kemudian menggantikan posisi kakeknya menjadi salah satu orang berpengaruh di Iran.
Pada tanggal 3 Juni 1989, Khomeini meninggal dengan memberikan sesuatu keyakinan kepada kaum Muslim diseluruh dunia bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia menuju kebenaran. Kontribusinya terhadap perkembangan Islam didunia pada umumnya dan Iran pada khususnya telah menjadikan Khomeini menjadi salah satu tokoh Islam modern yang tak terlupakan. Semoga harapan dan cita-citanya dapat menjadi kenyataan dalam sejarah umat Islam di dunia. Dalam buku (Muhammad Anis Maulachela, Sistem Pemerintahan Islam Imam Khomeini).

Khomeini mulai kritis mengenai persoalan etika sebagai respon terhadap modernisasi dan sekulerisasi Iran oleh Reza Syah Pahlevi pada sekitar tahun 1930-an. Pada tahun 1941, saat Syah Reza terpaksa turun tahta, Khomeini memandangnya sebagai akhir dari serangan ideologis dan kultural Barat, dan ia menganjurkan kekuasaan negara berbentuk ulama bersatu untuk mensiasati keadaan ini. Menurutnya, ulama merupakan mereka yang menghasilkan konstitusi dan menjamin kebebasan untuk menyatakan pendapat. Khomeini dengan tegas menjelaskan bahwa penghinaan terhadap ulama sama saja dengan penghinaan terhadap Islam. Dalam (Jurnal Agama dan Politik).
Pada saat ingin mengembangkan pemikirannya tersebut, Khomeini sempat ditahan di penjara karena ia dituduh sebagai provokator utama yang berunjuk rasa anti Syah Reza. Namun, ia tetap menyebarluaskan pernyataan-pernyataannya dalam bentuk tulisan dan kaset pidato, hingga ia memiliki banyak pendukung dan berhasil menggulingkan pemerintahan Syah Reza dan Iran berubah menjadi Repulik Islam Islam dengan Khomeini menjabat sebagai pemimpin spiritual tertinggi Iran. (Didin Saefuddin, Biografi Intelektual 17 Tokoh Pemikiran Modern dan Post modern Islam).
Khomeini memiliki konsep beranggapan bahwa suatu negara Islam sebenarnya merupakan suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya di kalangan Syi’ah. Ini tercantum sebagai kalimat pembuka dalam karyanya Hukumat-i Islam. Menurutnya, umat Muslim diwajibkan untuk menaati ulul al-amri disamping Allah dan Rasul-Nya. Ini berarti diwajibkannya umat Muslim membentuk pemerintahan, Oleh karena itu, menurutya tak ada gunanya suatu peraturan tanpa adanya kekuasaan eksekutif yang memaksakan pelaksanaan hukum Islam. Kewajiban membentuk negara dan pemerintahan Islam juga tampak dari kewajiban menjaga integritas wilayah Islam. Bahkan fungsi dari sifat dan hukum Islam dijadikannya dasar untuk mengelola urusan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Pemikiran politik Khomeini lebih ditujukan kepada persatuan antar umat islam di dunia. Gagasannya sebagai upaya penentangan terhadap penguasa zalim dan harapannya pada persatuan umat islam terlihat dalam fatwanya, misalnya ketika ibadah haji ke Makkah Khomeini mengeluarkan sebuah fatwa yang menyerukan kaum syi’ah agar meninggalkan keengganan mereka yang telah mendarah daging untuk shalat di belakang imam-imam sunni dalam kesempatan haji tersebut. Fatwa tersebut dinyatakan berkenaan dengan konflik panjang antara sunni-syi’ah, yang dirasa menghambat kamajuan umat islam serta memberikan peluang kepada zionis untuk menghancurkan umat islam dari dalam.
Dalam pandangan dunianya, imam Khomeini melihat bangunan peradaban secara penuh. Artinya, idealisme yang diusung merupakan pembentukan masyarakat tanpa kelas. Masyarakat yang mempunyai hak sama dalam semua kepentingan. Revolusi islam adalah revolusi yang menghendaki hancurnya kelas penindas dan yang tertindas, dan revolusi islam bertujuan untuk membebaskan manusia dari tirani penjajahan, mengangkat masyarakat tertindas menuju masyarakat sejahtera.
Pada dasarnya, karir politik Khomeini dimulai sejak ia menjadi pembantu Ayatollah Husein Boroujerdi, seorang yang menggantikan Syekh Abdul Karm Ha’eri-Yasdi guru pertamanya ketika pertama kali pindah ke arak pada tahun 1920. Dari keikutsertaannya dengan boroujerdi ia mulai terjun di dunia politik, meskipun hanya sebatas partisipan aktif. Dalam pernyataannya, ia seringkali mengambil kesempatan menyerang Reza Syah dengan kata-kata keras, dengan mengatakannya sebagai irani sewenang-wenang yang gagal meemrintah berdasarkan cara yang manyuburkan islam. Dalam salah satu skripsi, yaitu (skripsi milik khoirul imam, jurusan tafsir hadist UIN sunan kalijaga Yogyakarta.)
Khomeini menerapkan konsep wilayah al-faqih (pemerintahan faqih/ulama-ulama mujtahid) yang berada dalam bukunya, berjudul Tafsil al-Syari’ah, berkaitan dengan konsep-konsep dasar pemikiran politik religius Syiah, seperti : kesetiaan, imamah, dan taqlid. Oleh karena itu, kepemimpinan Islam diwujudkan dalam  imamah yang diwakili oleh para Rasul Allah dan para imam yang harus dipatuhi oleh umat Islam. Selanjutnya ia menegaskan bahwa selama keghaiban imam al-Mahdi, imamah dilanjutkan oleh kepemimpinan faqih. Jadi, faqih atau muj’tahid memiliki hak memerintah sebagai wakil imam. Kemudian dalam urusan keagamaan dan sosial politik, hubungan masyarakat dengan faqih didasari oleh konsep taqlid, yakni mematuhi faqih seperti mematuhi imam.
Akan tetapi, konsep Wilayah al-faqih Ayatullah Khomeini juga didapati beberapa argumentasi oleh beberapa pakar. Beberapa pakar tersebut menilai bahwa wilayah al-faqih itu sebagai pemerintahan demokratis sedangkan yang lainnya menganggap mungkinnya sintesis antara (unsur-unsur) demokrasi dan (unsur-unsur) nondemokrasi sehingga melabelinya dengan model pemerintahan semidemokratis.
Bagi imam Khomeini, negara islam seperti Arab Saudi, Libia, dan lainnya bukanlah contoh dari sebuah negara Islam yang berhasil dan patut ditiru. Pemikiran Khomeini tentang wilayah Faqih setidaknya dilatarbelakangi oleh empat faktor, yakni:
1.      Berakhirnya Imamah, dalam pengertian dianggap sebagai masa “keghaiban besar atau sempurna”, yaitu masa sesudah meninggalnya keempat wakil Imam (niyabah al-Imam) sampai kedatangan kembali al-Mahdi pada akhir zaman. Pada masa setelah berakhirnya perwakilan Imam (dari 941M dan seterusnya) yang biasa disebut dengan perwakilan umum inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih. Apabila pelembagaan perwakilan Imam dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk melestarikan struktur sosial-keagamaan umat Imamiah. Oleh karenanya mereka benar-benar menjadi imam-imam fungsional yang memiliki potensi untuk menjadi Sulthan al-Zaman (otoritas yang berkuasa pada suatu waktu) maka demikian pula dengan tugas dan fungsi perwakilan umum yang diemban oleh para faqih dibawah komando Khomeini. Meskipun keberadaan para faqih itu tidak ditunjuk langsung oleh para wakil Imam sebelumnya.
2.      Pelembagaan konsep wilayah faqih. Adapun maksud dari faktor ini adalah sebagai upaya mengisi kevakuman imamah sekaligus menjaga kelestariannya. Pemikiran demikian dapat dipahami karena imamah bagi umat Syi’ah adalah elemen keimanan yang wajib ada dan harus dipatuhi. Dengan adanya para faqih yang mengemban fungsi teologis-politis sebagaimana pendahulunya, sekaligus menempatkan mereka sebagai sultan al-zaman li-tadbir al-anam (otoritas yang ditunjuk untuk mengelolah urusan-urusan umat manusia), dan dapat pula diartikan sebagai kreativitas imam Khomeini sebagai penggagas konsep wilayah faqih.
3.      Idealisai politik Syi’ah yang termanifestasikan dalam diri Khomeini. Artinya, bila pada abad-abad sebelumnya islam Syi’ah belum berhasil mewujudkan cita-cita politiknya, yaitu terciptanya tatanan masyarakat islam dibawah pemerintahan Imam sebagai pemegang kekuasaan untuk menggantikan pemerintahan tirani yang dzalim, maka pada abad XX cita-cita tersebut dapat terealisasikan melalui perjuangan panjang seorang wakil Imam, Ayatullah Khomeini. Meski, harus diingat bahwa kekuasaan dan jabatan seorang faqih Khomeini tidak sebesar imam-imam sebelumnya. Dalam pengertian, tingkat keimanan Khomeini adalah satu tingkat dibawah imam yang dua belas karena ia hanya menempati posisi sebagai perwakilan umum.
4.      Semakin mendesaknya diberlakukan konsep wilayah faqih karena banyaknya anomaly kekuasaan yang dilakukan oleh Syah Reza Pahlevi, baik dalam bidang ekonomi, sosial-budaya maupun politik sebagai akses dari ambisi Syi’ah Iran untuk mempercepat proses modernisasi negaranya yang pada gilirannya berakibat pula pada proses de-Islamisasi terutama di bidang sosial-budaya dan politik. Menurut buku (Jalaluddin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam).
bit.ly/PMITugas3FilsafatIslam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI FILM AGORA